
Kab. Bandung ( Lintas News ) – Sejumlah masyarakat Desa Nagrak Kecamatan Cangkuang Kab. Bandung yang tergabung dalam Forum Peduli Masyarakat Desa Nagrak
( FPMDN ) Kec. Cangkuang, bersepakat untuk menolak pengalihan fungsi tanah pertanian produktif menjadi perumahan yang terletak di Blok Sawah Deukeut, Desa Nagrak oleh pengembang PT. Sanggar Indah Sentosa Raya.
Pernyataan sikap terebut disepakati oleh sejumlah warga, tokoh masyarakat dan tokoh agama yang telah mengadakan musyawarah pada hari Minggu ( 3/1 ) yang dihadiri oleh 57 orang peserta sebagai perwakilan dari RW 01 sampai RW 11. yang menolak untuk pembangunan perumahan tersebut.
Ketua FPMDN, H. A. Nono S. Sambas, ketika dihubungi Lintas News ( 31/1 ), mengatakan benar adanya mengenai rencana akan dibangunnya perumahan di tempat tersebut.
“ Lahan tersebut merupakan lahan pertanian produktif, meskipun mayoritas merupakan petani penggarap bukan pemilik tanah, namun jika dibangun perumahan akan banyak dampak negatifnya, diantaranya hilangnya mata pencaharian warga “ ungkapnya.
Lanjut H. Nono menjelaskan, bahwasanya di Desa Nagrak luas sawahnya kurang lebih 100 Ha dan sudah dipergunakan oleh Perumahan Parahyangan Kencana dan Perumahan Sanggar Indah seluas 70 Ha, adapun sisanya 30 Ha yang akan dipergunakan untuk perumahan seluas kurang lebih 15 Ha yang kini ditanami oleh petani yang nota bene kondisi sawahnya bagus baik dari segi pengairan dan hamparannya, maka sisanya tinggal 15 Ha atau 15 % itu pun kondisi medannya tinggal yang terjal, tegas H. Nono.
Selain itu, daerh tersebut merupakan daerah resapan air, dimana kemiringannya blok tersebut pada saat ini kondisinya rawan banjir terlebih jika dibangunnya perumahan akan semakin mengurangi resapan air.
Petani Penggarap Terancam Kehilangan Matapencahariannya
Salah satu petani penggarap Dayat ( 49 ) sekaligus Ketua RW 08 Desa Nagarak Kec. Cangkuang, mengatakan “ Masyarakat sampai saat ini belum menerima jika lahannya dijadikan perumahan, sebab mayoritas penduduk sebanyak 80 %, bekerja sebagai petani penggarap akan terancam kehilangan pekerjaannya “ kata Dayat bersama isterinya Titing ( 48 ) yang dibantu oleh puteranya yang bekerja sebagai patani penggarap juga di tanah tersebut.
Dayat mengaku bersama isterinya telah menggarap lahan ini selam 2 tahun dengan system sewa lahan yang menggarap 100 tumbak dengan membayar 5 juta selama 5 bulan kepada pemilik lahan.
Selama menggarap dengan ditanami sayur sosin mulai dari menanam sampai panen selam 20 hari dari seluas satu tumbak dapat menghasilkan 2 – 3 ton, dengan harga jual Rp. 600 – Rp. 1.500 / kg kepada Bandar.
Masih menurut Dayat para petani penggarap baik dari Desa Nagrak maupun dari luar desa, diberi upah untuk perempuan Rp. 17.000,- sampai jam 12 siang, sedangkan laki – laki diberi upah Rp. 20.000,- sampai waktu yang sama pula.
Dengan penghasilan tersebut bisa dikatakan cukup, hasil bersih sampai panen kurang lebih 10 juta / 20 hari “ Dapat menghidupi keluarga termasuk biaya sekolah anak “, sambil menambahkan andaikan perumahan ini jadi dibangun Dayat mengaku belum terpikirkan akan bekerja apa selain saat ini sebagai petani penggarap ditengah – tengah kondisi ekonomi saat ini susah oleh masyarakat kecil, katanya.
Terkait masalah izin penduduk, Dayat mengaku merasa dibohongi, sebab dengan dalih untuk diberi izin menggarap lahan para petani diharuskan memberi tanda tangan yang pada akhirnya dinyatakan sebagai izin dari penduduk untuk membangun perumahan di lahan tersebut, ungkapnya.
Dampak Sosial Pembangunan Perumahan di Tengah – tengah Pemukiman WargaBertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar – gencarnya mengkampanyekan alih fungsi lahan, agar tidak mudah mengalih fungsikan lahan pertanian, lebih – lebih merupakan lahan produktif dengan sarana penunjang irigasi teknis / pengairan bagus.
Sebagaimana dalam UU No. 12 Tahun 1992 Tentang Budidaya, Inruksi Presiden No. 3 Tahun 2007, UU No. 41 Tahun 2009 yang pada intinya kalaupun terpaksa terpakai harus ada lahan pengganti, lahan teknis tiga kali lipat, setengah teknis dua kali lipat dan tadah hujan satu kali lipat.
Dengan dibangunnya perumahan di tengah – tengah pemukiman penduduk, dikhawatirkan akan semakin tingginya kesenjangan social dimana penghuni perumahan tingkat perekonomianya relative lebih baik dibandingkan dengan kndisi penduduk setempat.
Selain itu, penduduk setempat akan semakin terpinggirkan dan kesulitan untuk memiliki rumah yang sesuai dengan kemampuanya juga hilangnya mata pencaharian sebagai buruh petani.
Disisi lain kenyataan yang terjadi pada Perumahan Parahyangan Kencana yang lokasinya berdekatan dengan Perumahan Sanggar Indah masih banyak rumah yang terbengkalai karena tak berpenghuni, termasuk Perumahan Sanggar Indah hingga saat ini masih banyak timbul permasalahan seperti buruknya sarana jalan, penerangan jalan umum dan perpajakan.
Ketua KPJB Indonesia Kab. Bandung, Lili Muslihat ketika dihubungi menanggapi permasalahan ini, mengatakan pembangunan jangan di lahan hijau harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan letaknya harus ramah lingkungan, perlu adanya pengkajian lebih serius tentang dampak lingkungan kepada dinas – dinas terkait jangan sampai akhirnya merugikan masyarakat, katanya.
H. Nono bersama masyarakat Desa Nagrak melalui FPMDN, mengaku telah melayangkan surat pengaduan kepada Bupati Kab. Bandung dan DPRD Kab. Bandung Komisi A dan Komisi B, namun sejauh ini belum ada tanggapan yang serius dari pemerintah terkait pembangunan perumahan ini.
Adanya hal itu, H. Nono mengharapkan pemerintah dapat mendorong masyarakat pedesaan untuk betah berada di pedesaan dengan bisa mencari penghidupan di desa secara sejahtera dengan membatalkan pembangunan perumahan sebab akan menyengsarakan masyarakat dengan menghilangkan segala potensi yang ada pada lahan tersebut, apalagi jangan sampai ada yang bekerja sebagai TKI ke luar negeri dengan banyak kejadian – kejadian yang tidak diharapkan. Adapun Perda dan UU dibuat pada dasarnya untuk menyejahterakan masyarakat namu apalah artinya jika pada kenyataannya jstru sebaliknya, tambah H. Nono. ( Asep Darmawan / Hadi Waskita )